orang Jakarta pasti tau
Telusurindonesia – Awal mula berdirinya
beberapa kerajaan dan kota besar di bumi ini diliputi mitos. Kekosongan
data sejarah diisi dengan cerita legendaris. Demikian halnya dengan
Roma, yang katanya didirikan oleh Romulus dan Remus, kakak-beradik yang
dibesarkan oleh seekor serigala. Demikian juga diceritakan tentang
negeri Matahari Terbit yang dikaitkan dengan keturunan dewi matahari,
yang sampai kini menghiasi bendera kebangsaan Jepang.
Menimbulkan polemik rupanya mitos semacam
ini meliputi pula asal usul atau lahirnya Kota Jakarta, ibu kota tertua
dari semua negara di Asia Tenggara, walaupun belum begitu tua jika
dibandingkan dengan kota seperti Kyoto dan Thang-Long atau Hanoi
umpamanya. Kalau demikian, atas dasar apa warga Jakarta merayakan hari
jadinya yang ke-470 pada tahun ini? Sejarawan Abdurrachman
Suryomomihardjo mengomentari keputusan Walikota Jakarta Sudiro (1953 –
1958) tentang hari jadi Jakarta sebagai “kemenangan Sudiro” yang
berlandaskan “kemenangan Fatahillah” yang pastinya tidak kita ketahui.
Pada tahun ’50-an perdebatan tentang asal
usul Jakarta memuncak dalam perang pena dua mahaguru, yaitu Dr.
Soekanto dan Dr. Hussein Djajadiningrat. Polemik ini pun sudah menjadi
sejarah yang dilupakan oleh sebagian besar penghuni Jakarta, yang dibuai
terus dengan karangan-karangan resmi yang menampakkan asal usul ibu
kota dengan begitu gamblang. Namun belum begitu lama Dr. Slametmulyana
masih berpegang pada tesis bahwa nama Ja(ya)karta diturunkan dari nama
adipatinya yang ketiga, yaitu Pangeran Jayawikarta, yang membela kotanya
terhadap J.P. Coen, pendiri Batavia (1619), namun dikalahkan oleh
saingannya dari Banten. Di balik berbagai teori yang kurang pasti ini
apa yang pasti? Apa yang terbukti? Pertama, dokumen-dokumen tertua
menyebutkan suatu permukiman di mulut Ciliwung bukan dengan nama
Ja(ya)karta, melainkan Sunda Calapa. Dokumen tertua yang menyebut nama
ini adalah Summa Oriental karangan Tome Pires, yang memuat laporan
kunjungannya dari tahun 1512/15. Apakah Ma Huan, penulis laporan
pelayaran armada Laksamana Zheng-Ho, yang kapal-kapalnya mengunjungi
Pantai Ancol pada awal abad XV, mengenal Chia liu-pa (atau Calapa) belum
dapat dipastikan kebenarannya.
Direbut pasukan Cirebon Sebutan Sunda
Calapa dipakai terus sampai pertengahan abad XVI (misalnya oleh A.
Nunez, Lyro do pesos Ymdia, 1554) dan dimuat pada peta-peta Asia sampai
awal abad XVII. Nama Ja(ya)karta untuk pertama kalinya disebutkan dalam
suatu dokumen tertulis, yang berasal dari sekitar tahun 1553, yakni
dalam karangan sejarawan Barros, yang berjudul Da Asia: Pulau Sunda
adalah negeri yang di pedalaman lebih bergunung-gunung daripada Jawa dan
mempunyai enam pelabuhan terkemuka, (Cimanuk) Chiamo di ujung pulau
ini, Xacatara dengan nama lain (Karawang) Caravam, (Xacatara por outro
nome Caravam), (Tangerang) Tangaram, (Cigede) Cheguide, (Pontang)
Pontang dan (Banten) Bintam. Inilah tempat-tempat yang ramai lalu lintas
akibat perniagaan di Jawa seperti pula di Malaka dan Sumatra ….
(Barros, Da Asia decada IV, liv. 1, Cap XII, hlm. 77) . Jao de Barros
(1496 – 1570) bekerja di Casa da India (1532 -1568) di Lisabon, tempat
segala laporan dari Asia diterima dan diarsipkan. Meskipun karangannya
tentang Asia Tenggara dari tahun 1553 menunjukkan keadaan yang sedikit
lebih tua, kita tidak tahu persisnya dari tahun berapa. Karena itu nama
Ja(ya)karta (dalam segala ejaannya) tidak terdokumentasi sebelum tahun
1550.
Dokumen Indonesia pertama yang memakai
sebutan “Jakarta” tidak mungkin berasal dari sebelum tahun 1602. Dokumen
ini merupakan suatu “piagam” dari Banten, yang ditemukan van der Tuuk
(1870). Meski demikian, nama Sunda Calapa tetap dipergunakan juga sampai
akhir abad XVI, bahkan dalam berita pelayaran Belanda dari akhir abad
itu. Walaupun tidak dapat diketahui dari sumber sezaman, kapan pelabuhan
di mulut S. Ciliwung itu berganti nama dan mungkin juga penduduknya,
bisa dipastikan dari berbagai sumber Portugis (misalnya J. de Barros,
F.L. Castaheda, G. Correa), yaitu pada akhir tahun 1526 atau awal 1527.
Sunda Calapa direbut dari kekuasaan kerajaan Hindu Sunda oleh pasukan
Islam dari Cirebon. Awak kapal Portugis yang dipimpin D. de Coelho dan
terdampar di Pantai Sunda Calapa dibunuh dan dipukul mundur oleh
penguasa baru . Maka, 470 tahun yang lalu pasti terjadi perubahan besar
di daerah yang sekarang disebut “Kota”. Sunda Calapa (sampai 1526/27)
maupun Jayakarta (1527 – 1619) terletak di sebelah selatan suatu garis
yang dibentuk oleh rel kereta api dan jalan tol baru sedikit di sebelah
utara Hotel Omni Batavia sekarang. Maka pasukan Cirebon yang dipimpin
oleh Sunan Gunung Jati sebagai sekutu (atau bawahan?) Kesultanan Demak
mendarat di pantai yang terbentang kurang lebih pada garis tersebut.
Mungkin juga ia menyerang Sunda Calapa melewati daratan dari arah
Marunda. Hal ini agak sulit, karena pada zaman itu daerah antara Marunda
dan Kota masih penuh hutan lebat serta rawa-rawa yang banyak buayanya.
Mitos, legenda, atau hanya cerita?
Masalah siapa yang memimpin tentara koalisi Cirebon-Demak-Banten melawan
raja Pajajaran belum terpecahkan dengan tuntas. Rupanya hal ini tidak
mungkin terungkap, karena dokumen sejarah dari masa itu tidak ada, baik
yang berbentuk tulisan maupun benda sejarah. Nilai sejarah cerita
Purwaka Tjaruban Nagari, yang pengarangnya menyebut diri Pangeran Aria
Tjarbon masih diperdebatkan oleh para sejarawan. Naskah dari sekitar
tahun 1720 ini telah beredar sejak awal abad XIX di luar lingkungan
Keraton Cirebon. Belum ada edisi kritis dari naskah penting ini, apalagi
mengenai kitab sumbernya, yang disebutkan pada halaman terakhir yakni
naskah Negarakertabumi. Purwaka Tjaruban Nagari bukan dokumen dari zaman
Jakarta didirikan, maka pengetahuan tentang sumbernya penting. Selain
itu naskah ini penuh cerita ajaib dan bagian-bagian yang memperlihatkan
kepentingan pihak Cirebon pada waktu itu. Atas dasar yang secara halus
dapat disebut ketidakpastian itu dibangun suatu sejarah tentang tokoh
“pendiri” Jakarta, yaitu Fatahillah. Keberadaan dan peran penting
seseorang yang muncul dalam aneka sumber sejarah sebagai Tagaril,
Fadilah Khan, Falatehan atau Fatahillah, tak dapat disangsikan. Namun
identitas dan kegiatan tokoh dari Pasai (Sumatra Utara) itu belum jelas
betul. Karangan dan seminar sejarawan Indonesia dan luar negeri masih
tetap bergumul tentang siapakah Fatahillah, orang Gujarat keturunan Arab
itu.
Mengingat keadaan sumber-sumber sejarah
yang sulit ditemukan, bahkan harus dikatakan hampir nihil, maka pada
awal berdirinya Kota yang dinamai Jayakarta itu akan tetap diliputi
kabut, sehingga mitos dengan leluasa dapat berkembang, dipelihara,
bahkan diresmikan. Nasib ini memang bukan hanya khas Jakarta. Memang
sejarah yang kritis kadang kala menyajikan kejadian historis sebagai
peristiwa yang bercorak agak biasa, sedangkan mitos, legenda, dan cerita
dengan leluasa dapat membakar imajinasi dan semangat. Tetapi ini bukan
maksud sejarah yang ingin mengenal kenyataan dan menafsirkannya.
Apakah menginjak abad XXI ini orang akan
puas dengan mitos ataukah mereka ingin mengetahui kebenaran? Kapankah
akan terbit sejarah Jakarta yang kritis? Apakah sudah waktunya? Sudah
mungkinkah dengan mengingat nasib aneka buku kritis yang muncul
akhir-akhir ini? Jakarta yang merayakan hari ulang tahun ke-470
sepantasnya memiliki kajian sejarahnya, yang realistis serta ilmiah.
Walaupun masa awal dan sejarah berikutnya akan tampak agak biasa,
sejarah seperti ini diperlukan untuk membangun suatu rasa memiliki warga
kota pada pergantian abad ini yang tidak lama lagi akan berlangsung.
Mitos dan legenda tetap berfungsi, namun tidak memadai sebagai landasan
pembangunan masa depan suatu masyarakat yang peduli pada nasib kotanya
dan peninggalan-peninggalan sejarahnya.