Pada dasarnya asal usul nama Bandung ini banyak sekali versinya.
Dalam
buku tulisan Haryoto Kunto, dapat ditemukan bahwa kata Bandung, berasal
dari kata Bandong, sesuai dengan penemuan sebuah negeri kecil oleh
seorang Mardijker bernama Julian de Silva. Dan tercatat pula bahwa Dr.
Andries de Wilde, seorang pemilik kebun kopi yang sangat luas di daerah
ini, meminang seorang gadis dan kemudian menikahinya yang berasal dari
Kampung Banong (di daerah Dago Atas).
Malah ada pula yang berpendapat Kata Bandung berasal dari sebuah nama
pohon Bandong ‘Garcinia spec’ (Heyne : 1950 Jilid III, pada halaman
2233, menyebutkan bahwa Bandong ‘Garcinia spec’ sejenis pohon yang
tingginya 10 – 15 m dan besar batangnya 15 – 20 cm, dengan batang tak
bercabang. Pohon ini dieksploitasi setelah berumur 20 – 30 tahun, dengan
cara menoreh kulit kayu sedalam 2 – 3 mm akan mengalirkan cairan
kekuning-kuningan. Menurut Wiesner’s Rohstoffe digunakan untuk
pengobatan, mewarnai pernis-pernis spirtus, lak emas ‘goudlak’, cat air
dan fotografi. Jadi nama Bandung berasal dari Bandong yang sesuai dengan
sebuah nama kampung yang telah ditemukan oleh seorang Mardijker bernama
Julian de Silva di atas.
Menurut penulis buku Wisata Bumi Cekungan Bandung, T. Bachtiar,
Bandung juga artinya adalah persahabatan/perdamaian. Berasal dari Bahasa
Kawi, Bandung artinya bersama-sama, bersahabat, bersaing, mendampingi,
dan saling tolong menolong.
Mengenai asal-usul nama “Bandung”, dikemukakan berbagai pendapat.
Sebagian mengatakan bahwa, kata “Bandung” dalam bahasa Sunda, identik
dengan kata “banding” dalam Bahasa Indonesia, berarti berdampingan.
Ngabanding (Sunda) berarti berdampingan atau berdekatan. Hal ini antara
lain dinyatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai
Pustaka (1994) dan Kamus Sunda-Indonesia terbitan Pustaka Setia (1996),
bahwa kata bandung berarti berpasangan dan berarti pula berdampingan.
Pendapat lain mengatakan, bahwa kata “bandung” mengandung arti besar
atau luas. Kata itu berasal dari kata bandeng. Dalam bahasa Sunda,
ngabandeng berarti genangan air yang luas dan tampak tenang, namun
terkesan menyeramkan. Diduga kata bandeng itu kemudian berubah bunyi
menjadi Bandung. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kata Bandung
berasal dari kata bendung.
Pendapat-pendapat tentang asal dan arti kata Bandung, rupanya berkaitan
dengan peristiwa terbendungnya aliran Sungai Citarum purba di daerah
Padalarang oleh lahar Gunung Tangkuban Parahu yang meletus pada masa
holosen (± 6000 tahun yang lalu).
Akibatnya, daerah antara Padalarang sampai Cicalengka (± 30 kilometer)
dan daerah antara Gunung Tangkuban Parahu sampai Soreang (± 50
kilometer) terendam menjadi sebuah danau besar yang kemudian dikenal
dengan sebutan Danau Bandung atau Danau Bandung Purba. Berdasarkan hasil
penelitian geologi, air Danau Bandung diperkirakan mulai surut pada
masa neolitikum (± 8000 – 7000 sebelum Masehi). Proses surutnya air
danau itu berlangsung secara bertahap dalam waktu berabad-abad.
Secara historis, kata atau nama Bandung mulai dikenal sejak di daerah
bekas danau tersebut berdiri pemerintah Kabupaten bandung (sekitar
decade ketiga abad ke-17). Dengan demikian, sebutan Danau Bandung
terhadap danau besar itu pun terjadi setelah berdirinya Kabupaten
Bandung.
Berdirinya Kabupaten Bandung
Sebelum Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan sebutan
“Tatar Ukur”. Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum Kabupaten
Bandung berdiri, Tatar Ukur adalah termasuk daerah Kerajaan Timbanganten
dengan ibukota Tegalluar. Kerajaan itu berada dibawah dominasi Kerajaan
Sunda-Pajajaran. Sejak pertengahan abad ke-15, Kerajaan Timbanganten
diperintah secara turun temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung,
dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur
merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar wilayah
Jawa Barat, terdiri atas sembilan daerah yang disebut “Ukur Sasanga”.
Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579/1580) akibat gerakan
Pasukan banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat,
Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, penerus
Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintah
pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun pada (1580-1608), dengan ibukota di
Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah Barat kota Sumedang
sekarang. Wilayah kekuasaan kerajaan itu meliputi daerah yang kemudian
disebut Priangan, kecuali daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis).
Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Suriadiwangsa,
anak tiri Geusan Ulun dari rtu Harisbaya, Sumedanglarang menjadi daerah
kekuasaan Mataram sejak tahun 1620. Sejak itu status Sumedanglarang pun
berubah dari kerajaan menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang.
Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian Barat
terhadap kemungkinan serangan Pasukan Banten dan atau Kompeni yang
berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan Sultan
Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan konflik dengan
Kesultanan Banten.
Untuk mengawasi wilayah Priangan, Sultan Agung mengangkat Raden Aria
Suradiwangsa menjadi Bupati Wedana (Bupati Kepala) di Priangan
(1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, terkenal
dengan sebutan Rangga Gempol I.
Tahun 1624 Sultan agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan
daerah Sampang (Madura). Karenanya, jabatan Bupati Wedana Priangan
diwakilkan kepada adik Rangga Gempol I pangeran Dipati Rangga Gede.
Tidak lama setelah Pangeran Dipati Rangga Gede menjabat sebagai Bupati
Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan Banten. Karena sebagian Pasukan
Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak dapat
mengatasi serangan tersebut. Akibatnya, ia menerima sanksi politis dari
Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan di Mataram. Jabatan
Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia
harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan Kompeni.
Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan
Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu
mengalami kegagalan. Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekwensi
dari kegagalan itu ia akan mendapat hukuman seperti yang diterima oleh
Pangeran Dipati Rangga gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh
karena itu Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap
Mataram. Setelah penyerangan terhadap Kompeni gagal, mereka tidak datang
ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya. Tindakan Dipati Ukur itu
dianggap oleh pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap penguasa
Kerajaan Mataram.
Terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta para pengikutnya
dimungkinkan, antara lain karena pihak Mataram sulit untuk mengawasi
daerah Priangan secara langsung, akibat jauhnya jarak antara Pusat
Kerajaan Mataram dengan daerah Priangan. Secara teoritis, bila daerah
tersebut sangat jauh dari pusat kekuasaan, maka kekuasaan pusat di
daerah itu sangat lemah. Walaupun demikian, berkat bantuan beberapa
Kepala daerah di Priangan, pihak Mataram akhirnya dapat memadamkan
pemberontakan Dipati Ukur. Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati Ukur
tertangkap di Gunung Lumbung (daerah Bandung) pada tahun 1632.
Setelah “pemberontakan” Dipati Ukur dianggap berakhir, Sultan Agung
menyerahkan kembali jabatan Bupati Wedana Priangan kepada Pangeran
Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya. Selain itu juga
dilakukan reorganisasi pemerintahan di Priangan untuk menstabilkan
situasi dan kondisi daerah tersebut. Daerah Priangan di luar Sumedang
dan Galuh dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung,
Kabupaten Parakanmuncang dan Kabupaten Sukapura dengan cara mengangkat
tiga kepala daerah dari Priangan yang dianggap telah berjasa menumpas
pemberontakan Dipati Ukur.
Ketiga orang kepala daerah dimaksud adalah Ki Astamanggala, umbul
Cihaurbeuti diangkat menjadi mantri agung (bupati) Bandung dengan gelar
Tumenggung Wiraangunangun, Tanubaya sebagai bupati Parakanmuncang dan
Ngabehi Wirawangsa menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung
Wiradadaha. Ketiga orang itu dilantik secara bersamaan berdasarkan
“Piagem Sultan Agung”, yang dikeluarkan pada hari Sabtu tanggal 9
Muharam Tahun Alip (penanggalan Jawa). Dengan demikian, tanggal 9
Muharam Taun Alip bukan hanya merupakan hari jadi Kabupagten Bandung
tetapi sekaligus sebagai hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten
Parakanmuncang.
Berdirinya Kabupaten Bandung, berarti di daerah Bandung terjadi
perubahan terutama dalam bidang pemerintahan. Daerah yang semula
merupakan bagian (bawahan) dari pemerintah kerajaan (Kerajaan
Sunda-Pajararan kemudian Sumedanglarang) dengan status yang tidak jelas,
berubah menjadi daerah dengan sttus administrative yang jelas, yaitu
kabupaten.
Setelah ketiga bupati tersebut dilantik di pusat pemerintahan Mataram,
mereka kembali ke daerah masing-masing. Sadjarah Bandung (naskah)
menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumeggung Wiraangunangun beserta
pengikutnya dari Mataram kembali ke Tatar Ukur. Pertama kali mereka
dating ke Timbanganten. Di sana bupati Bandung mendapatkan 200 cacah.
Selanjutnya Tumenanggung Wiraangunangun bersama rakyatnya membangun
Krapyak, sebuah tempat yang terletak di tepi Sungat Citarum dekat muara
Sungai Cikapundung, (daerah pinggiran Kabupaten Bandung bagian Selatan)
sebagai ibukota kabupaten. Sebagai daerah pusat kabupaten Bandung,
Krapyak dan daerah sekitarnya disebut Bumi kur Gede.
Wilayah administrative Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram
(hingga akhir abad ke-17), belum diketahui secara pasti, karena sumber
akurat yang memuat data tentang hal itu tidak/belum ditemukan. Menurut
sumber pribumi, data tahap awal Kabupaten Bandung meliputi beberapa
daerah antara lain Tatar Ukur, termasuk daerah Timbanganten, Kuripan,
Sagaraherang, dan sebagian Tanahmedang.
Boleh jadi, daerah Priangan di luar Wilayah Kabupaten Sumedang,
Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh, yang semula merupakan wilayah Tatar
Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan Dipati Ukur, merupakan
wilayah administrative Kabupaten Bandung waktu itu. Bila dugaan ini
benar, maka Kabupaten Bandung dengan ibukota Krapyak, wilayahnya
mencakup daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin,
Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung dan
lain-lain, termasuk daerah Kuripan, Sagaraherang dan Tanahmedang.
Kabupaten Bandung sebagai salah satu Kabupaten yang dibentuk Pemerintah
Kerajaan Mataram, dan berada di bawah pengaruh penguasa kerajaan
tersebut, maka sistem pemerintahan Kabupaten Bandung memiliki sistem
pemerintahan Mataram. Bupati memiliki berbagai jenis symbol kebesaran,
pengawal khusus dan prajurit bersenjata. Simbol dan atribut itu menambah
besar dan kuatnya kekuasaan serta pengaruh Bupti atas rakyatnya.
Besarnya kekuasaan dan pengaruh bupati, antara lain ditunjukkan oleh
pemilikan hak-hak istimewa yang biasa dmiliki oleh raja. Hak-hak
dimaksud adalah hak mewariskan jabatan, ha memungut pajak dalam bentuk
uang dan barang, ha memperoleh tenaga kerja (ngawula), hak berburu dan
menangkap ikan dan hak mengadili.
Dengan sangat terbatasnya pengawasan langsung dari penguasa Mataram,
maka tidaklah heran apabila waktu itu Bupati Bandung khususnya dan
Bupati Priangan umumnya berkuasa seperti raja. Ia berkuasa penuh atas
rakyat dan daerahnya. Sistem pemerinatahn dan gaya hidup bupati
merupakan miniatur dari kehidupan keraton. Dalam menjalankan tugasnya,
bupati dibantu oleh pejabat-pejabat bawahannya, seperti patih, jaksa,
penghulu, demang atau kepala cutak (kepala distrik), camat (pembantu
kepala distrik), patinggi (lurah atau kepala desa) dan lain-lain.
Kabupaten Bandung berada dibawah pengaruh Mataram sampai akhir tahun
1677. Kemudian Kabupaten Bandung jatuh ketangan Kompeni. Hal itu terjadi
akibat perjanjian Mataram-Kompeni (perjanjian pertama) tanggal 19-20
Oktober 1677. Di bawah kekuasaan Kompeni (1677-1799), Bupati Bandung dan
Bupati lainnya di Priangan tetap berkedudukan sebagai penguasa
tertinggi di kabupaten, tanpa ikatan birokrasi dengan Kompeni.
Sistem pemerintahan kabupaten pada dasarnya tidak mengalami perubahan,
karena Kompeni hanya menuntut agar bupati mengakui kekuasaan Kompeni,
dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC. Dalam hal
ini bupati tidak boleh mengadakan hubungan politik dan dagang dengan
pihak lain. Satu hal yang berubah adalah jabatan bupati wedana
dihilangkan. Sebagai gantinya, Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon
sebagai pengawas (opzigter) daerah Cirebon-Priangan (Cheribonsche
Preangerlandan).
Salah satu kewajiban utama bupati terhadap kompeni adalah melaksanakan
penanaman wajib tanaman tertentu, terutama kopi, dan menyerahkan
hasilnya. Sistem penanaman wajib itu disebut Preangerstelsel. Sementara
itu bupati wajib memelihara keamanan dan ketertiban daerah kekuasaannya.
Bupati juga tidak boleh mengangkat atau memecat pegawai bawahan bupati
tanpa pertimbangan Bupati Kompeni atau penguasa Kompeni di Cirebon. Agar
bupati dapat melaksanakan kewajiban yang disebut terakhir dengan baik,
pengaruh bupati dalam bidang keagamaan, termasuk penghasilan dari bidang
itu, seperti bagian zakar fitrah, tidak diganggu baik bupati maupun
rakyat (petani) mendapat bayaran atas penyerahan kopi yang besarnya
ditentukan oleh Kompeni.
Hingga berakhirnya kekuasaan Kompeni-VOC akhir tahun 1779, Kabupaten
Bandung beribukota di Krapyak. Selama itu Kabupaten Bandung diperintah
secara turun temurun oleh enam orang bupati. Tumenggung Wiraangunangun
(merupakan bupati pertama) ankatan Mataram yang memerintah sampai tahun
1681. Lima bupati lainnya adalah bupati angkatan Kompeni yakni
Tumenggung Ardikusumah yang memerintah tahun 1681-1704, Tumenggung
Anggadireja I (1704-1747), Tumenggung Anggadireja II (1747-1763), R.
Anggadireja III dengan gelar R.A. Wiranatakusumah I (1763-1794) dan R.A.
Wiranatakusumah II yang memerintah dari tahun 1794 hingga tahun 1829.
Pada masa pemerintahan bupati R.A. Wiranatakusumah II, ibukota Kabupaten
Bandung dipindahkan dari Karapyak ke Kota Bandung.
Berdirinya Kota Bandung
Ketika Kabupaten Bandung dipimpin oleh Bupati RA Wiranatakusumah II,
kekuasaan Kompeni di Nusantara berakhir akibat VOC bangkrut (Desember
1799). Kekuasaan di Nusantara selanjutnya diambil alih oleh Pemerintah
Hindia Belanda dengan Gubernur Jenderal pertama Herman Willem Daendels
(1808-1811).
Sejalan dengan perubahan kekuasaan di Hindia Belanda, situasi dan
kondisi Kabupaten Bandung mengalami perubahan. Perubahan yang pertama
kali terjadi adalah pemindahan ibukota kabupaten dari Krapyak di bagian
Selatan daerah Bandung ke Kota Bandung yang ter;etak di bagian tengah
wilayah kabupaten tersebut.
Antara Januari 1800 sampai akhir Desember 1807 di Nusantara umumnya dan
di Pulau Jawa khususnya, terjadi vakum kekuasaan asing (penjajah),
karena walaupun Gubernur Jenderal Kompeni masih ada, tetapi ia sudah
tidak memiliki kekuasaan. Bagi para bupati, selama vakum kekuasaan itu
berarti hilangnya beban berupa kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi
bagi kepentingan penguasa asing (penjajah). Dengan demikian, mereka
dapat mencurahkan perhatian bagi kepentingan pemerintahan daerah
masing-masing. Hal ini kiranya terjadi pula di Kabupaten Bandung.
Menurut naskah Sadjarah Bandung, pada tahun 1809 Bupati Bandung
Wiranatakusumah II beserta sejumlah rakyatnya pindah dari Karapyak ke
daerah sebelah Utara dari lahan bakal ibukota. Pada waktu itu lahan
bakal Kota Bandung masih berupa hutan, tetapi di sebelah utaranya sudah
ada pemukiman, yaitu Kampung Cikapundung Kolot, Kampung Cikalintu, dan
Kampung Bogor. Menurut naskah tersebut, Bupati R.A. Wiranatakusumah II
pindah ke Kota Bandung setelah ia menetap di tempat tinggal sementara
selama dua setengah tahun.
Semula bupati tinggal di Cikalintu (daerah Cipaganti) kemudian ia pindah
Balubur Hilir. Ketika Deandels meresmikan pembangunan jembatan
Cikapundung (jembatan di Jl. Asia Afrika dekat Gedung PLN sekarang),
Bupati Bandung berada disana. Deandels bersama Bupati melewati jembatan
itu kemudian mereka berjalan ke arah timur sampai disuatu tempat (depan
Kantor Dinas PU Jl. Asia Afrika sekarang). Di tempat itu deandels
menancapkan tongkat seraya berkata: “Zorg, dat als ik terug kom hier een
stad is gebouwd!” (Usahakan, bila aku datang kembali ke sini, sebuah
kota telah dibangun!”. Rupanya Deandels menghendaki pusat kota Bandung
dibangun di tempat itu.
Sebagai tindak lanjut dari ucapannya itu, Deandels meminta Bupati
Bandung dan Parakanmuncang untuk memindahkan ibukota kabupaten
masing-masing ke dekat Jalan Raya Pos. Permintaan Deandels itu
disampaikan melalui surat tertanggal 25 Mei 1810.
indahnya Kabupaten Bandung ke Kota Bandung bersamaan dengan pengangkatan
Raden Suria menjadi Patih Parakanmuncang. Kedua momentum tersebut
dikukuhkan dengan besluit (surat keputusan) tanggal 25 September 1810.
Tanggal ini juga merupakan tanggal Surat Keputusan (besluit), maka
secara yuridis formal (dejure) ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota
Bandung.
Boleh jadi bupati mulai berkedudukan di Kota Bandung setelah di sana
terlebih dahulu berdiri bangunan pendopo kabupaten. Dapat dipastikan
pendopo kabupaten merupakan bangunan pertama yang dibangun untuk pusat
kegiatan pemerintahan Kabupaten Bandung.
Berdasarkan data dari berbagai sumber, pembangunan Kota Bandung
sepenuhnya dilakukan oleh sejumlah rakyat Bandung dibawah pimpinan
Bupati R.A. Wiranatakusumah II. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan
bahwa bupati R.A. Wiranatakusumah II adalah pendiri (the founding
father) kota Bandung.
Berkembangnya Kota Bandung dan letaknya yang strategis yang berada di
bagian tengah Priangan, telah mendorong timbulnya gagasan Pemerintah
Hindia Belanda pada tahun 1856 untuk memindahkan Ibukota Keresiden
priangan dari Cianjur ke Bandung. Gagasan tersebut karena berbagai hal
baru direalisasikan pada tahun 1864. Berdasarkan Besluit Gubernur
Jenderal tanggal 7 Agustus 1864 No.18, Kota Bandung ditetapkan sebagai
pusat pemerintahan Keresidenan Priangan. Dengan demikian, sejak saat itu
Kota Bandung memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai Ibukota Kabupaten
Bandung sekaligus sebagai ibukota Keresidenan Priangan. Pada waktu itu
yang menjadi Bupati Bandung adalah R.A. Wiranatakusumah IV (1846-1874).
Sejalan dengan perkembangan fungsinya, di Kota Bandung dibangun gedung
keresidenan di daerah Cicendo (sekarang menjadi Rumah Dinas Gubernur
Jawa Barat) dan sebuah hotel pemerintah. Gedung keresidenan selesai
dibangun tahun 1867.
Perkembangan Kota Bandung terjadi setelah beroperasi transportasi kereta
api dari dan ke kota Bandung sejak tahun 1884. Karena Kota Bandung
berfungsi sebagai pusat kegiatan transportasi kereta api “Lin Barat”,
maka telah mendorong berkembangnya kehidupan di Kota Bandung dengan
meningkatnya penduduk dari tahun ke tahun.
Di penghujung abad ke-19, penduduk golongan Eropa jumlahnya sudah
mencapai ribuan orang dan menuntut adanya lembaga otonom yang dapat
mengurus kepentingan mereka. Sementara itu pemerintah pusat menyadari
kegagalan pelaksanaan sistem pemerintahan sentralistis berikut
dampaknya. Karenanya, pemerintah sampai pada kebijakan untuk mengganti
sistem pemerintahan dengan sistem desentralisasi, bukan hanya
desentralisasi dalam bidang keuangan, tetapi juga desentralisasi dalam
pemberian hak otonomi bidang pemerintahan (zelfbestuur)
Dalam hal ini, pemerintah Kabupaten Bandung di bawah pimpinan Bupati RAA
Martanagara (1893-1918) menyambut baik gagasan pemerintah kolonial
tersebut. Berlangsungnya pemerintahan otonomi di Kota Bandung, berarti
pemerintah kabupaten mendapat dana budget khusus dari pemerintah
kolonial yang sebelumnya tidak pernah ada.
Berdasarkan Undang-undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) yang
dikeluarkan tahun 1903 dan Surat Keputusan tentang desentralisasi
(Decentralisasi Besluit) serta Ordonansi Dewan Lokal (Locale Raden
Ordonantie) sejak tanggal 1 April 1906 ditetapkan sebagai gemeente
(kotapraja) yang berpemerintahan otonomom. Ketetapan itu semakin
memperkuat fungsi Kota Bandung sebagai pusat pemerintahan, terutama
pemerintahan Kolonial Belanda di Kota Bandung. Semula Gemeente Bandung
Dipimpin oleh Asisten Residen priangan selaku Ketua Dewan Kota
(Gemeenteraad), tetapi sejak tahun 1913 gemeente dipimpin oleh
burgemeester (walikota).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar