Rabu, 14 November 2012

Asal Mula Nama Yogyakarta

"JOGJAKARTA"

Nama kota Yogyakarta memiliki sejarah yang panjang. Dimulai dari sejarah alas Paberingan yang pertama kali dimanfaatkan oleh Panembahan Hanyakrawati (RM Jolang) raja kedua Mataram II (1601-1613) yang menggantikan Panembahan Senopati Ing Ngalaga (1586-1601) dan kemudian menjadi kawasan yang selalu terpilih dan muncul melalui wisik yang diterima oleh beberapa raja-raja Mataram berikutnya.
Kata Yogyakarta sendiri merupakan pergeseran lafal (pengucapan) dari kata bahasa Jawa Ngayogyakarta, bentukan dari dua kata ngayogya dan karta. Kata ngayogya dari kata dasar yogya artinya pantas, baik. Ngayogya artinya menuju cita-cita yang baik dan karta artinya aman, sejahtera. Ngayogyakarta artinya mencapai kesejahteraan (bagi negeri dan rakyatnya).
Nama tersebut bukan diciptakan oleh pendiri Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yakni Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I), tetapi telah dicita-citakan kurang lebih 37 tahun sebelumnya oleh paman buyutnya, yakni Paku Buwana I (Pangeran Puger, adik Amangkurat I), raja ke-2 Keraton Kartasura.
Situs pusat keraton Mataram II yang pertama terletak di Ngeksigondo yang masih dapat kita saksikan sisa-sisa bangunan terbuat dari bata dan nama-nama kawasan yang hingga kini tetap digunakan seperti Banguntapan, Kanoman, Gedong Kuning, Gedong Kiwa, Gedong Tengen, bekas Pemandian Warungbata, Winong, Sar Gedhe (jadi Kota Gede), Kompleks Makam Senopaten dan sebagainya yang tersebar sejak 1 kilometer sebelah utara hingga selatan Kota Gede.
Dan alas Paberingan yang terletak sekitar 5 kilometer sebelah barat Ngeksigondo, pada masa pemerintahan Panembahan Hanyakrawati telah dibangun menjadi hutan rekreasi raja berpagar keliling bambu (krapyak) untuk perburuan kijang, dinamakan alas Krapyak. Di situ pula Hanyakrawati terluka parah hingga akhirnya wafat, dibunuh oleh pejabat istananya sendiri Pangeran Wiramenggala (Kyai Ageng Bengkung). Atas peristiwa itulah Hanyakrawati dikenal sebagai Panembahan Seda Krapyak.
Konon menjelang akhir pemerintahan Sunan Amangkurat I -Tegal Arum (1646-1677) mendapat wisik bahwa alas Paberingan kejatuhan wahyu keraton. Sehingga ia bermaksud memindahkan keraton Ngeksigondo ke hutan tersebut, telah dimulai dengan membangun betengnya. Calon keraton itu akan dinamakan Garjitawati yang berarti osiking raos ingkang sejatos (kata hati yang murni).
Rencana itu tidak berlanjut sebab Keraton Mataram keburu direbut Pemberontak Trunojoyo yang didukung rakyat, menentang Amangkurat I yang mengakui kedaulatan Kumpeni dan bertindak kejam membantai 6.000 Santri Giri dan juga kerabat dekatnya sendiri. Dengan bantuan pasukan Banyumas dan Bagelen/Kebumen pemberontakan Trunojoyo dapat ditumpas dan Amangkurat Jawa (P Anom Amral) bertahta bergelar Amangkurat II-Amral (1677-1678). Kotaraja yang rusak dipindah ke Kreta (yang artinya aman, sejahtera).
Pada tahun 1703 Amangkurat III-Sunan Mas memindahkan Kotaraja ke Kartasura (1703-1704). Pada masa pemerintahannya Sunan Paku Buwana I (P Puger, 1704-1719) bermaksud melanjutkan cita-cita Amangkurat I membangun kembali calon kraton Garjitawati dan akan dinamakannya Ngayogyakarta.
Namun sebelum niat itu terlaksana, PB I keburu wafat, digantikan Amangkurat IV (1719-1727). Penggantinya, Paku Buwana II memindahkan keraton Kartasura ke Surakarta (1745-1749) setelah Pemberontakan Pacina ditumpas Kawasan alas Paberingan dibangun menjadi Kadipaten Mataram di bawah T Jayawinata. Pada tahun 1746 P Mangkubumi diberi mandat PB II untuk meneruskan keberadaan keraton Jawa sebab Surakarta akan menjadi milik Kumpeni sesuai Perjanjian Panaraga.
Pada tahun ketiga Pemberontakan Mangkubumen, dalam suatu pertempuran melawan pasukan gabungan Surakarta-Kumpeni, P Mangkubumi terdesak hingga lereng Gunung Merapi, namun atas kegigihan senapati andalannya, T Rangga Wirasetika, akhirnya dapat merebut Kadipaten Mataram. T Jayawinata takluk dan menjadi pengikutnya. P Mangkubumi tinggal beberapa lama di Kadipaten itu, dan ketika diserang oleh pasukan Surakarta-Kumpeni, sebelum meninggalkan Mataram seluruh kadipaten seisinya dihan-curkan terlebih dahulu agar tidak dimanfaatkan oleh kekuasaan Surakarta-Kumpeni Cita-cita Paku Buwana I itu akhirnya bisa diwujudkan oleh P Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwana I) pada tahun 1756, setahun setelah Perjanjian Giyanti ditandatangani (1755).
Alas Paberingan dibangun secara bertahap menjadi kompleks keraton dan dinamakannya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, lengkap dengan segala taman-tamannya seperti Taman Sari, Kali Larangan untuk mengisi Segaran dengan Pulau Kenanga di tengahnya yang dinamakan Yasa Kambang, dan Panggung Krayak di luar benteng keraton seperti yang kita saksikan sekarang. Arsitek yang ditugasi membangun adalah T Mangundipura.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar