"JOGJAKARTA"
Nama
kota Yogyakarta memiliki sejarah yang panjang. Dimulai dari sejarah
alas Paberingan yang pertama kali dimanfaatkan oleh Panembahan
Hanyakrawati (RM Jolang) raja kedua Mataram II (1601-1613) yang
menggantikan Panembahan Senopati Ing Ngalaga (1586-1601) dan kemudian
menjadi kawasan yang selalu terpilih dan muncul melalui wisik yang
diterima oleh beberapa raja-raja Mataram berikutnya.
Kata
Yogyakarta sendiri merupakan pergeseran lafal (pengucapan) dari kata
bahasa Jawa Ngayogyakarta, bentukan dari dua kata ngayogya dan karta.
Kata ngayogya dari kata dasar yogya artinya pantas, baik. Ngayogya
artinya menuju cita-cita yang baik dan karta artinya aman, sejahtera.
Ngayogyakarta artinya mencapai kesejahteraan (bagi negeri dan
rakyatnya).
Nama
tersebut bukan diciptakan oleh pendiri Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat yakni Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I), tetapi
telah dicita-citakan kurang lebih 37 tahun sebelumnya oleh paman
buyutnya, yakni Paku Buwana I (Pangeran Puger, adik Amangkurat I), raja
ke-2 Keraton Kartasura.
Situs
pusat keraton Mataram II yang pertama terletak di Ngeksigondo yang
masih dapat kita saksikan sisa-sisa bangunan terbuat dari bata dan
nama-nama kawasan yang hingga kini tetap digunakan seperti Banguntapan,
Kanoman, Gedong Kuning, Gedong Kiwa, Gedong Tengen, bekas Pemandian
Warungbata, Winong, Sar Gedhe (jadi Kota Gede), Kompleks Makam Senopaten
dan sebagainya yang tersebar sejak 1 kilometer sebelah utara hingga
selatan Kota Gede.
Dan
alas Paberingan yang terletak sekitar 5 kilometer sebelah barat
Ngeksigondo, pada masa pemerintahan Panembahan Hanyakrawati telah
dibangun menjadi hutan rekreasi raja berpagar keliling bambu (krapyak)
untuk perburuan kijang, dinamakan alas Krapyak. Di situ pula
Hanyakrawati terluka parah hingga akhirnya wafat, dibunuh oleh pejabat
istananya sendiri Pangeran Wiramenggala (Kyai Ageng Bengkung). Atas
peristiwa itulah Hanyakrawati dikenal sebagai Panembahan Seda Krapyak.
Konon
menjelang akhir pemerintahan Sunan Amangkurat I -Tegal Arum (1646-1677)
mendapat wisik bahwa alas Paberingan kejatuhan wahyu keraton. Sehingga
ia bermaksud memindahkan keraton Ngeksigondo ke hutan tersebut, telah
dimulai dengan membangun betengnya. Calon keraton itu akan dinamakan
Garjitawati yang berarti osiking raos ingkang sejatos (kata hati yang
murni).
Rencana
itu tidak berlanjut sebab Keraton Mataram keburu direbut Pemberontak
Trunojoyo yang didukung rakyat, menentang Amangkurat I yang mengakui
kedaulatan Kumpeni dan bertindak kejam membantai 6.000 Santri Giri dan
juga kerabat dekatnya sendiri. Dengan bantuan pasukan Banyumas dan
Bagelen/Kebumen pemberontakan Trunojoyo dapat ditumpas dan Amangkurat
Jawa (P Anom Amral) bertahta bergelar Amangkurat II-Amral (1677-1678).
Kotaraja yang rusak dipindah ke Kreta (yang artinya aman, sejahtera).
Pada
tahun 1703 Amangkurat III-Sunan Mas memindahkan Kotaraja ke Kartasura
(1703-1704). Pada masa pemerintahannya Sunan Paku Buwana I (P Puger,
1704-1719) bermaksud melanjutkan cita-cita Amangkurat I membangun
kembali calon kraton Garjitawati dan akan dinamakannya Ngayogyakarta.
Namun
sebelum niat itu terlaksana, PB I keburu wafat, digantikan Amangkurat
IV (1719-1727). Penggantinya, Paku Buwana II memindahkan keraton
Kartasura ke Surakarta (1745-1749) setelah Pemberontakan Pacina ditumpas
Kawasan alas Paberingan dibangun menjadi Kadipaten Mataram di bawah T
Jayawinata. Pada tahun 1746 P Mangkubumi diberi mandat PB II untuk
meneruskan keberadaan keraton Jawa sebab Surakarta akan menjadi milik
Kumpeni sesuai Perjanjian Panaraga.
Pada
tahun ketiga Pemberontakan Mangkubumen, dalam suatu pertempuran melawan
pasukan gabungan Surakarta-Kumpeni, P Mangkubumi terdesak hingga lereng
Gunung Merapi, namun atas kegigihan senapati andalannya, T Rangga
Wirasetika, akhirnya dapat merebut Kadipaten Mataram. T Jayawinata
takluk dan menjadi pengikutnya. P Mangkubumi tinggal beberapa lama di
Kadipaten itu, dan ketika diserang oleh pasukan Surakarta-Kumpeni,
sebelum meninggalkan Mataram seluruh kadipaten seisinya dihan-curkan
terlebih dahulu agar tidak dimanfaatkan oleh kekuasaan Surakarta-Kumpeni
Cita-cita Paku Buwana I itu akhirnya bisa diwujudkan oleh P Mangkubumi
(Sultan Hamengku Buwana I) pada tahun 1756, setahun setelah Perjanjian
Giyanti ditandatangani (1755).
Alas
Paberingan dibangun secara bertahap menjadi kompleks keraton dan
dinamakannya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, lengkap dengan segala
taman-tamannya seperti Taman Sari, Kali Larangan untuk mengisi Segaran
dengan Pulau Kenanga di tengahnya yang dinamakan Yasa Kambang, dan
Panggung Krayak di luar benteng keraton seperti yang kita saksikan
sekarang. Arsitek yang ditugasi membangun adalah T Mangundipura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar